Menu

Mode Gelap
 

Humor · 20 Agu 2023 16:20 WIB ·

Aliran Makan Bubur para Pendiri Bangsa


 Ilustrasi bubur. Foto: Shutterstock Perbesar

Ilustrasi bubur. Foto: Shutterstock

Banyak orang Indonesia yang suka bubur karena rasanya enak dan lezat, bubur juga cocok dimakan kapan saja alias nggak kenal waktu: buat sarapan pagi oke, buat makan siang mantap, dan buat makan malam juga, ya … nikmat betul.

Bubur disukai banyak orang mungkin bukan cuma soal rasanya, tapi bisa jadi juga karena blio sopan dan santun. Blio ini kalau masuk ke mulut nggak bikin letih alias kita nggak perlu capek-capek untuk membuang-buang energi, yang sebetulnya energinya bisa kita pakai untuk hal-hal lainnya, silat lidah misalnya.

Sebagian masyarakat Indonesia mengandalkan bubur sebagai menu sarapan utama. Menurut sumber sejarah yang saya temukan dari Mbah Gugel, bubur muncul sebagai respons terhadap paceklik berkepanjangan. Makanan ini telah dikenal sejak era Tiongkok Kuno, tepatnya pada masa pemerintahan Kaisar Kuning, yakni saat Kaisar Xuanyuan Huangdi berkuasa. 

Dalam masyarakat Indonesia, bubur telah memicu perdebatan berkelanjutan mengenai cara mengonsumsi yang paling tepat. Hal ini bahkan membagi masyarakat menjadi dua aliran, yakni aliran yang menyukai bubur diaduk dan yang nggak. 

Meskipun begitu, hingga saat ini, nggak ada peraturan tertulis yang mengatur aturan mengenai pilihan antara aliran diaduk dan nggak. Praktik masyarakat dalam menyantap bubur masih didasarkan pada selera individu dan memilih mudaratnya yang paling kecil bagi mereka.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya akan menebak (baca: cocoklogi) aliran makan bubur para pendiri bangsa kita, apakah diaduk atau nggak? cekidot!

Bubur diaduk

Bubur diaduk adalah bubur yang diaduk. Iya, antara bubur dan topingnya diaduk menjadi satu kesatuan. Kelebihan dari bubur ini lebih merata dan gampang dicerna. Kekurangannya dari bentuknya yang kayak apaan tau. 

Secara filosofi, kepribadian seseorang mungkin bisa sedikit diketahui dari cara makan buburnya. Orang-orang yang menganut aliran diaduk kemungkinan punya kecenderungan sifat-sifat, seperti suka kebebasan, ramah, mudah bersosialisasi, impulsif, spontan, dan lain-lain.

Para penganut aliran ini biasa menikmati buburnya dengan cara diaduk, yakni menyatukan seluruh komponen dari bubur. Kalau digambarkan ke dalam politik, mungkin para penganut aliran ini suka mencampurkan banyak ideologi menjadi satu dan lebih condong ke bentuk negara kesatuan. 

Sukarno cocok dengan aliran ini karena blio merupakan pencetus Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Toh, Sukarno juga lebih condong ke bentuk negara kesatuan ketimbang federasi. 

Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, merupakan seorang sosialis kiri, blio dikenal sebagai pejuang yang radikal dengan gerakan revolusionernya. Salah satu kalimat miliknya yang terkenal berbunyi, “Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.” 

Tan Malaka lebih sesuai dengan aliran bubur diaduk karena ia memiliki pandangan yang revolusioner untuk mencapai tujuan perubahan sosial, sejalan dengan karakteristik penganut aliran ini.

Mohammad Yamin berkontribusi besar dalam Kongres Pemuda II yang kemudian ditegaskan melalui Peraturan Presiden (Perpres) menjadi Sumpah Pemuda. Peristiwa ini menyatukan pemuda Tanah Air, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan. Hal ini bisa dikategorikan bahwa blio makan bubur dengan cara diaduk.

Bubur tidak diaduk

Orang yang menganut aliran bubur nggak diaduk kemungkinan lebih condong punya sifat-sifat, seperti sangat terencana, rapi, teratur, suka berpikir panjang, bijaksana, mengutamakan perundingan, dan lain-lain. Penganut aliran ini lebih cenderung menikmati setiap detail dari makanannya: mulai dari buburnya, kuah, kerupuk, dan toping-topingnya (ayam, kacang, cakwe, satai, dan sebagainya). 

Dalam politik, aliran ini mungkin bisa kita bilang sebagai orang-orang yang rasional dan condong ke bentuk negara federasi. Berbanding terbalik dengan Sukarno, Hatta lebih berpikir panjang jauh ke depan, blio beberapa kali nggak setuju dengan konsep dengan pemikiran Bung Besar itu.

Hatta menolak demokrasi terpimpin, serta lebih condong negara Indonesia berbentuk federasi ketimbang kesatuan. Hal ini bisa kita kategorikan kalau Hatta menganut aliran bubur nggak diaduk.

Dari kaum sosialis kanan ada Sutan Sjahrir, blio sering dianggap bukan revolusioner, berbeda dengan Tan Malaka. Sjahrir juga dikenal sebagai sosok yang lebih sering memakai politik perundingan. Hal ini bisa kita kategorikan kalau Sjahrir menganut aliran bubur nggak diaduk.

Berbanding terbalik dengan Sukarno yang suka menggabungkan banyak ideologi menjadi satu, Mohammad Natsir justru menentangnya. Natsir menolak keras konsep Nasakom-nya Sukarno, blio menganggap kalau komunisme bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini bisa kita kategorikan kalau Natsir juga menganut aliran bubur nggak diaduk.

Itulah mengenai tebakan (baca: cocoklogi) mengenai para pendiri bangsa kita dan aliran cara makan buburnya. Mau menganut aliran bubur diaduk boleh, menganut nggak diaduk juga sah-sah saja. Yang paling penting adalah menjaga persatuan dan kesatuan. Jangan sampai bangsa ini terpecah belah cuma karena persoalan makan bubur diaduk atau nggak. Ingat bibirmu, harimaumu!

 

Tulisan ini merupakan opini penulis, sehingga isinya sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi Akomodasi.id.

Artikel ini telah dibaca 26 kali